Secara Etimologis riba berarti ziyadah (tambahan), tumbuh dan membesar, secara terminologis fiqh riba yaitu pengambilan tambahan dari pokok atau modal secara baik atau bertentangan dengan prinsip syariah. Mengenai hal ini Allah berfirman “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan saling memakan harta sesamamu dengan secara batil (Q.S Al-nisa : 29). Pengertian riba tersebut berdasarkan firman Allah “Hai orang- orang yang beriman bertaqwalah kepada allah dan lepaskanlah sisa – sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasulnya akan memerangi mu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi mu modal mu. Kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. (Q.S Al-baqarah : 278 – 279) ayat tersebut menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba, sedikit atau banyak, setiap modal dasar yang ditentukan sebelumnya karena semata – mata imbalan bagi berlaku nya waktu adalah riba. Status hukum riba adalah haram berdasarkan firman Allah “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S Al-baqarah 275). Yang menjadi illat (alasan hukum) diharamkan riba menurut Q.S Al-baqarah : 278-279 diatas adalah karena riba mengandung unsur menzalimi. Menurut Murtadha Muthahhari, ada beberapa alasan dan filosofi diharamkannya riba, yaitu:
- Riba mencegah kebaikan dan meniadakan pengharapan orang – orang yang memiliki kebutuhan terhadap orang lain. Riba mengambil keuntungan dari kebutuhan orang lain. Sedangkan islam menginginkan agar manusia berbuat baik terhadap sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan.
- Riba memutuskan berkaitan antara kekayaan dan usaha. Orang – orang memperoleh manfaat dari harta, ia telah mendapatkan kekayaan tanpa usaha
- Menghilangkan SDM yang produktif, sehingga menyebabkan resesi ekonomi dan hilangnya kesejahteraan masyarakat.
- Riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang.
Uang tidak mempunyai fungsi selain alat tukar.
Riba sudah dipraktekkan sejak zaman jahiliyyah, bahwa sudah
menjadi tradisi yang sulit bila dilarang secara spontan, karena itu pengharaman
riba dalam Islam bersifat gradual (bertahap).
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
pada zahirnya seolah – olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekatkan diri kepda Allah
(Q.S Al-rumm : 39)
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk.
Allah mengancam memberi alasan yang keras kepada orang Yahudi yang memahami
riba (Q.S An-nisa :160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda (Q.S Ali Imran :130).
Tahap keempat, Allah dengan jelas dan tegas apapun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman (Q.S Al-baqarah : 278-279).
Status haramnya riba dijelaskan pula dalam hadist – hadist
nabi misalnya dalam hadist Bukhari dan hadist muslim.
Menurut keputusan muktamar Islam II Lembaga Riset Islam Al
Azhar, di kairo, keputusan lembaga Fiqh Islam organisasi konfrensi Islam (OKI),
keputusan lembaga Fiqh Islam Rabithah alam Islam, keputusan muktamar Bank Islam
II 1403 H/1983 M di Kuwait, komisi fatwa Al Azhar Mesir, Fatwa Mufti Mesir tgl
20 Feb 1989, teks pernyataan tuan Mufti keluar dari Darul Ifta tgl 8 Sept 1989
dan fatwa MUI, bahwa bunga Bank (interest) adalah haram karena termasuk dalam
kategori riba.
Islam mendorong praktek bagi hasil mengharamkan riba (bunga)
kedua duanya sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang nyata, perbedaan tersebut sebagai berikut:
Bunga
- Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
- Besarnya presentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
- Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
- Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
- Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam
Bagi Hasil
- Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
- Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
- Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
- Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
- Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
Menurut Dr.
M. Syafi’I Antonio riba (bunga) mempunyai dampak negative, Yaitu:
1.Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang
diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah
satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga,
semakin tinggi juga harga yang ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat
penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak
pernah keluar ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut di
bungakan. Contoh paling nyata adalah hutang Negara, Negara pengutang harus
berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang
terus menerus. Ini menjelaskan proses terjadinya kemiskinan struktual yang
menimpa lebih ½ masyarakat dunia.
2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapat yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk
memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, 20 % lebih
tinggi dari jumlah yang dipinjamkan.
Persoalannya, siapa yang bias menjamin bahwa usaha yang
dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari 20 %?
Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa
yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua
kemungkinan : berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah
memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
Harta yang baik adalah harta yang diperoleh dari sumber yang
halal, dan dikembangkan secara halal. Artinya, dengan usaha legel sesuai
syariat dan yang bermanfaat baik melalui usaha mandiri maupun kerjasama kemitraan
dengan pihak lain, oleh karena itu Islam mensyariatkan kerjasama antara pemilik
modal (financer / shahibu Al Maal) dengan pekerja untuk kepentingan yang saling
menguntungkan kedua belah pihak, sebagai kosekwensi dari kerjasama adalah
memikul resiko baik untung maupun rugi, jika untung maka pemilik modal
(financer / shahibu Al Maal) dan pekerja menikmati bersama sesuai kesepakatan
sebelumnya. Jika untung kecil / rugi, maka harus lah dirasakan bersama yaitu,
pemilik modal rugi dalam saham nya dan pekerja rugi dalam energi dan jerih
payahnya. Inilah keadilan yang sempurna, keuntungan sama – sama dinikmati, dan
kerugian sama – sama dirasakan.
Karena itu lah munurut Dr. Yusuf Al Qardhawi hikmah
diharamkannya riba (bunga bank) dalam Islam adalah mewujudkan kebersamaan yang
adil diantara pemilik modal (harta) dengan pekerja, serta memikul resiko dan
akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Ini lah pengertian
keadilan Islam.
Islam tidak memihak kepentingan pengusaha (interpreneur) dan
pengalahkan pemilik modal. Islam juga tidak berat sebelah kepada pemilik modal
sehingga menyepelekan kontribusi usaha.
Keduanya berada dalam posisi yang seimbang.Ini juga
mencerminkan keadilan Allah yang tidak memihak kepada salah satu pihak oleh
karena itu sudah saat nya kita meninggalkan praktek riba dan kembali ke konsep
ekonomi syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar